kisahnabi, rosul, sahabat, imam dan orang sholeh Satubulan penuh diikuti La Beddu, sampai akhirnya namanya masuk dalam daftar lulus, artinya beberapa bulan kemudian, jika tak ada pelanggaran, La Beddu berhak menjadi PNS penuh, dan bukan calon lagi. Memori di benaknya, yang melatihnya bersabar pada saat pelatihan, diusahakan dibuang jauh-jauh. “Biarlah hanya menjadi kenangan”. Terdapatkisah yang bisa diambil tentang adab terhadap guru, kisah ini datang dari salah satu khalifah yang terkenal di Dinasti Abbasiyah yaitu Harun Ar-Rasyid. Ia pernah meminta untuk mendidik seekor kambing. Kambing tersebut di didik oleh Al-Ashma’I yang juga seorang yang alim. Harun Ar-Rasyid melihat al-Ashma’I melihatnya anaknya Oleh Almara* Pada zaman dahulu, jauh sebelum ada emansipasi wanita, umumnya wanita yang selesai menikah akan menjadi ibu rumah tangga. Tugasnya pun hanya mengurus rumah tangga dan keluarga sementara suami bekerja keras mencari nafkah. Zaman sekarang setelah adanya emansipasi wanita banyak bermunculan wanita karier, mereka menginginkan Selainsuaminya yang berjualan jagung rebus keliling, untuk memenuhi kebutuhan keluarganya ibu Siti membuka warung kelontong kecil-kecilan dirumah. Beliau adalah seorang istri yang sangat taat pada Allah dan juga taat kepada suami, beliau mempunyai dua orang anak, anak yang pertama bernama Qori’ Fathonah dan yang kedua bernama Andi Pamungkas. Tibalahmalam terakhir menjalankn ritual,tepatnya menjelang waktu shubuh,terdengarlah teriakan seorang santri dari kamar khusus melakukan ritual.Sang santri yang berteriak itu ternyata merasa kaget dan ketakutan ketika melihat wujud sosok khodam ghaibnya surat Al-Ikhlas,dan dia di nyatakan gagal mendapatkan rejeki gaib yang di 7A6yh. loading...Kisah santri cerdas yang akhirnya jadi penjual arang ini layak kita jadikan hikmah dan pelajaran berharga. Foto ilustrasi/Ist Kisah ini didapat dari Syekh Muhammad bin Ali Ba'atiyah dari gurunya Al-Habib Abdullah bin Shodiq Al-Habsyi. Beliau dapat dari gurunya benama Al-Habib Abdullah bin Umar As-Syatiri sekaligus tokoh yang dimaksud dalam cerita ini mengajarkan kita tentang pentingnya adab dan akhlak terutama bagi penuntut ilmu. Kisah tragis seorang santri di Tarim ini layak kita jadikan hikmah. Sepintar dan sehebat apapun hafalannya tidak akan berkah jika tak punya adab kepada gurunya. Seperti kalam para ulama "Dahulukan akhlak sebelum ilmu. Dengan ahlaklah kamu bisa memahami ilmu." Baca Juga Dikisahkan, di Tarim Yaman terdapat sebuah pesantren bernama Rubath Tarim. Pesantren ini sangat masyhur dan telah melahirkan puluhan ribu ulama dan dai yang tersebar di seluruh dunia. Di sana para santri diajarkan berbagai macam ilmu, khususnya spesifikasi ilmu fiqh sebagai pesantren itu pula ada seorang santri sebut saja namanya "Fulan". Si Fulan ini adalah santri yang sudah menetap 13 tahun bersama Habib Abdullah bin Umar As-Syatiri. Ia sangat cerdas, hafalannya kuat, tangkas dan rajin hingga dikatakan bahwa ia menjadi santri yang sudah mencapai derajat Mufti saking pintarnya. ia juga hafal semua masalah fiqhiyah yang terdapat dalam Kitab "Tuhtatul Muhtaj", sebuah kitab yang tebalnya 10 jilid cetakan Darud Diyak atau 4 jilid cetakan darul Kutub Ilmiyah. Kesehariannya di pesantren, si Fulan ini disukai oleh teman-temannya sebab ia dibutuhkan oleh rekannya untuk menjelaskan pelajaran yang belum dipahami serta mengajar kitab-kitab lainnya. 13 tahun menjadi santri Rubath Tarim tentu saja hampir dipastikan kapasitasnya ia termasuk ulama besar. Namanya pun tersohor hingga keluar pesantren bahwa ia termasuk calon ulama besar yang akan muncul akhirnya setan mengelabui si Fulan, iapun merasa orang yang paling alim. Bahkan ia merasa kualitas dirinya sejajar dengan kealiman guru besarnya. Tidak cukup sampai di situ, kesombongan itu berlanjut hingga ia berani memanggil gurunya dengan namanya saja "Ya Abdullah". Dimata para ahli ilmu panggilan ini merupakan tindakan yang sangat tercela dan kesombongan yang سيدي الشيخ محمد بن علي باعطية الدوعني من نادى شيخه باسمه لم يمت حتى يذوق الفقر المعنوي من العلم"Barang siapa yang memangil gurunya dengan sebutan namanya langsung tidak mengagungkannya ketika memanggil maka dia tak akan meninggal kecuali sudah merasakan hidup yang faqir baik dalam ilmu maupun material." Melihat kesombongan si Fulan, Al-Habib Abdullah As-Syatiri sabar dan memilih diam saja. Syekh Muhammad bin Ali Ba’atiyah mengatakan; "Diamnya seorang guru saat muridnya tidak sopan pada gurunya tetap akan mendapatkan azab dari Allah". Keluar Tanpa Izin GurunyaKesombongan itupun berlanjut, si Fulan pada suatu hari akan keluar dari Rubath Tarim untuk menuju Kota Mukalla untuk berdakwah. Ia pun keluar dari pesantren begitu saja tanpa izin kepada Al-Habib Abdullah As-Syatiri, hingga pada saat “Madras Ribath” sebutan untuk pengajian rutinan di Rubath Tarim, Habib Abdullah menanyakan perihal keberadaan si Fulan yang biasanya duduk di depan namun tidak kelihatan. "Kemanakah si Fulan?" Sebagian murid yang mengetahui menjawab "Si Fulan sedang berdakwah ke Kota Mukalla." Habib berkata, "Apakah dia izin kepadaku?" Sontak murid yang lain diam saja. Dan Habib Abdullah kemudian berkata "Baiklah, kalau begitu biarkan si Fulan pergi akan tetapi ilmunya tetap di sini."Di Kota Mukalla Yaman, para ahli ilmu dan para pecinta Habib Abdullah Syatiri yang mendengar bahwa si Fulan santri senior Rubath Tarim akan mengisi ceramah di Masjid Baumar Mukalla, merekapun berbondong-bondong datang, mereka pun mempersilakan si Fulan untuk memberikan Fulan naik ke mimbar dan memulai isi ceramahnya, ia memulai dengan basmalah, hamdalah, hkepada Nabi, amma ba'du. Kemudian ia membaca sebuah ayatوما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون٥٦ وما أريد منهم من رزق وما أريد أن يطعمون ٥٧ إن الله هو الرزاق ذو القوت المتين ٥٨ سورة الذارياتKetika ingin menjelaskan ayat ini, si Fulan tiba-tiba terdiam seperti kayu yang berdiri tegak dan kebingungan. Ia tak mampu berbicara menjelaskan ayat tersebut. Hingga dia duduk lima menit dan hanya terdiam di hadapan jamaah. Hingga akhirnya dia duduk menangis karena semua ilmu yang pernah ia hafal hilang seketika. Bahkan kitab kecil Safinatun Najah tak hafal satu kalimat pun apa lagi kitab Tuhfah yang awalnya telah dihafal. Ketika di Ribat bagaikan unta yang sangat bagus mahal hargaya karena mempunyai keistimewaan dan kelebihan yang melihatnya kaget melihat hal itu. Salah satu ahli ilmu di Kota Mukalla yaitu Habib Abdullah Sodiq Al Habsyi yang pernah mondok mencari di Ribat Tarim selama 9 tahun mengerti bahwa pasti ada sesuatu yang tidak beres dari si Fulan. Kemudian datanglah kabar bahwasanya si Fulan telah isa'atul adab berbuat kurang baik terhadab gurunya. Ia pun bertanya pada si Fulan, setelah mendengar penjelasannya, si ahli ilmu menasehati agar ia si Fulan minta maaf pada sang maha sudah dikuasai oleh setan, iapun enggan untuk tawadhu’ dan minta maaf pada sang guru. Hidupnya pun bertambah tragis, ilmunya sudah hilang dan tanpa ada keluarga yang mau menerimanya tanpa teman yang peduli pada nasibnya. Hingga akhirnya ia hidup dalam keadaan sangat miskin di pinggiran Kota Mukalla dan sehari-hari menjadi penjual Arang di toko area pasar. Konon, suatu ketika Habib Umar Bin Abdurahman Al-Atthos RA Penyusun Ratib Al-Atthos sedang duduk bersama para santrinya. Ada satu santri yang bernama Syekh Ali Baaros RA sedang duduk di sampingnya sambil memijit kaki sang guru itu. Habib Umar terdiam sesaat dan berkata kepada santrinya “Kita kedatangan tamu istimewa, Nabi Khidir AS. Sekarang beliau sudah berada di gerbang depan.” Mendengar dawuh sang guru, para santri berhamburan menuju gerbang depan menyambut kehadiran Nabi Khidir AS. Kecuali Syekh Ali Baaros. Lalu Habib Umar Bin Abdurrahman bertanya kepada Syekh Ali Baaros “Ya Ali, kenapa kau tidak menyambut Nabi Khidir bersama teman-temanmu yang lain?” Syekh Ali Baaros menjawab “Wahai guru, Nabi Khidir AS datang sengaja menemuimu. Untuk apa aku lepaskan tanganku dari kakimu karena kedudukanmu yaitu sebagai guru di mataku sebagai murid jauh lebih mulia dibandingkan Nabi Khidir” Mendengar jawaban dari muridnya seperti itu, lalu berucaplah Habib Umar “Tidak akan aku terima hadiah Fatihah dari siapapun untukku kecuali disertai dengan nama Ali Baaros. Ini bukti keridhoanku kepadanya!” Dengan keridhoan guru, Syekh Ali Baaros yang berguru puluhan tahun kepada Habib Umar dengan berkhidmat dan mengabdi di kemudian hari bisa menjadi ulama besar yang banyak memberi manfaat kepada umat. Kemuliaan guru seperti orang tua kita. Namun, rahasia dunia ada pada kedua orang tua, sedang rahasia akhirat ada pada tangan guru. “Law Laa Murobbi Ma Aroftu Robbi” Jika bukan karena pendidik/guru, maka aku tidak akan mengenal Tuhanku loading...Ustaz Saeful Huda, dai lulusan Darul Musthafa Hadhramaut Yaman. Foto/Ist Setiap murid wajib menunjukkan adab dan penghormatan yang tinggi kepada gurunya. Jika tidak ada adab maka ilmu yang didapat pun tidak akan berkah. Ilmu layaknya madu yang sulit untuk didapat kecuali di tempat bersih dan menerimanya pun harus dengan hati yang bersih. Berikut kisah para ulama ketika mendidik murid dan santrinya. Kisah ini diceritakan Ustaz Saeful Huda Dai lulusan Darul Musthafa Hadhramaut Yaman. Baca Juga "Kita ini beruntung, guru-guru kita tidak memberikan kita ujian yang berat seperti ujian yang diberikan ulama-ulama terdahulu. Karena mereka tahu hati kita lemah, iman kita lemah tidak seperti santri-santri zaman dahulu," kata Ustaz Saeful Huda .Diceritakan Habib Ali Bin Abdullah Assegaf ketika jauh-jauh datang dari Hadhramaut ke Malibar India untuk berguru kepada Habib Ali Bin Abdullah Alaydrus. Sesampainya ia di depan rumah gurunya dan mengucapkan salam, Sang guru yang waktu itu sedang makan di lantai dua menyuruh khodamnya pelayannya melihat siapa yang ada di depan pintu."Seorang pencari ilmu dari Seiwun-Hadhramaut Habib, namanya Ali Assegaf," jawab itu, Habib Ali Alaydrus mengambil air bekas cuci tangannya dan memberikannya kepada khodamnya. "Ambil air ini dan siramkan kepadanya." Dengan segera si khodam mengambil air kobokan itu dan menyiramkannya ke tubuh Habib Ali Assegaf dari lantai dua. "Mbyuurrr..." Setengah jam kemudian Habib Ali Alaydrus memanggil khodamnya lagi."Coba lihat.. Apakah orang itu masih ada di bawah". Baca Juga Khodamnya melihat ke bawah dan ternyata pemuda itu masih berdiri mematung di depan pintu. Malahan ia masih menunduk penuh takzhim. "Masih Ya Habib, dia masih ada di bawah," jawab khodamnya."Sekarang bukakan pintu untuknya," ujar Habib Ali ketulusan dan keteguhannya itu, kelak Habib Ali Assegaf menjadi salah satu murid kesayangan Habib Ali Alyadrus. Sebagian ulama terdahulu memang mempunyai cara tersendiri dalam menguji keteguhan dan ketulusan santri-santrinya. Tentunya cara-cara 'aneh' yang mereka tempuh dalam mendidik tak lepas dari maksud dan tujuan yang mulia, yang sering kali tak bisa kita ketahui dengan pemahaman dan cara berpikir lain diceritakan, Syaikhona KH Kholil bin Abdul Lathif Bangkalan merupakan salah satu dari ulama yang mendidik murid-muridnya dengan cara-cara unik. Dulu ia mempunyai santri asal Magelang, Manab namanya. Selama liburan, karena termasuk dari golongan yang tak mampu dan tak pernah mendapat kiriman dari orang tuanya, ia bekerja di sawah sekitar pesantren untuk mengumpulkan beberapa ikat padi yang akan ia gunakan sebagai 'sangu' selama mengaji kepada Syaikhona Kholil .Sesampainya di Demangan, kebetulan Syaikhona Kholil waktu itu sedang duduk di luar rumahnya, melihat santrinya datang membawa dua karung beras, beliau berkata "Kebetulan ayam-ayamku masih belum makan".Manab lekas memahami keinginan Kiyainya, tanpa menunggu lama ia menaburkan beras dua karung itu di kandang ayam-ayam Syaikhona Kholil . Hasil jerih payahnya berbulan-bulan ludes pada waktu itu juga. Sebagai ganti beras itu, Syaikhona Kholil menyuruhnya untuk mengumpulkan daun mengkudu sebagai makanan sehari-harinya. Santri bernama Manab itu kelak menjadi ulama besar di zamannya, mendirikan pesantren yang memiliki ribuan santri hingga saat ini, ia dikenal dengan KH Abdul Karim, pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. Baca Juga Lain lagi yang dialami santri bernama Muhammadun. Sehari sebelum santri asal Lasem itu datang ke Bangkalan, Syaikhona Kholil menyuruh murid-muridnya untuk membuat 'kurungan' ayam. Keesokan harinya Syaikhona Kholil menyambut kedatangan Muhammadun lalu memerintahkannya untuk menjebloskan diri ke dalam kurung ayam itu. Sam'an wa tho'atan ia laksanakan perintah sang guru tanpa protes sedikitpun. Kelak ialah yang akan menjadi salah satu jago tanah Jawa, menjadi Kiyai Alim nan Kharismatik yang dikenal dengan Mbah Kiyai Maksum asal Tambak Beras Jombang bernama Abdul Wahhab malah memiliki pengalaman yang seru dan menegangkan. Ketika baru sampai di gerbang pondok Syaikhona Kholil , ia disambut oleh puluhan santri yang membawa celurit dan pedang dan hendak menyerangnya. Tentu saja ia lari terbirit-birit. Ternyata Syaikhona Kholil sudah mewanti-wanti para muridnya untuk bersiaga di hari itu, kata beliau akan ada 'Macan' yang hendak memasuki area pondok. Dan sialnya, Santri baru bernama Abdul Wahhab itu yang Syaikhona Kholil tuduh sebagai 'Macan' hingga ia menjadi target serbuan para santri .Esok harinya ia kembali lagi, masih juga disambut dengan celurit dan pedang. Ia belum menyerah, ia mencoba lagi di malam ketiga, dan di malam itu ia berhasil memasuki area ponpes. Karena kelelahan ia tertidur di Mushalla Pesantren, Syaikhona Kholil lalu datang dan malam itu, ia resmi diterima menjadi santri Kiyai Kholil. Di masa depan, ialah yang akan menjadi macan NU. Pengasuh Pesantren Tambak Beras yang kita kenal sebagai Kiyai Wahhab Imam Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad , "Orang yang mencari ilmu itu ibarat orang yang membawa wadah untuk meminta madu. Jika ia membawa wadah yang kotor, apakah sang pemilik madu akan menuangkan madunya untuknya? Tentunya ia akan menyuruhnya untuk membersihkan wadahnya terlebih dahulu".Itulah hakikat ilmu layaknya madu, sedangkan Hati kita adalah wadah untuk 'menampaninya' menerimanya. Semakin besar rasa takzhim dan keyakinan kita terhadap guru kita, semakin besar pula wadah yang kita dan pertolongan Allah yang akan kita peroleh lewat guru kita tergantung rasa takzhim, keyakinan dan cara pandang kita terhadapnya. Semoga kita tetap bisa menjaga adab dan sikap takzhim terhadap guru dan ulama kita. Baca Juga Wallahu Ta'ala A'lamrhs Hikmah Taat pada Guru Taat pada guru merupakan kewajiban bagi seorang murid. Dalam sebuah hikayat, Syaikh Kholil Bangkalan–yang termasuk guru besar pada zamannya–banyak sekali menerima tamu di kediaman beliau. Di suatu malam, hujan turun deras sekali. Saat itu, orang tua dengan kondisi lumpuh, berjalan merayap di pelataran. Ia bertujuan ingin menemui Syaikh Kholil. Kiai Kholil pun melihatnya, lalu berkata pada para santri, “Siapa yang menghendaki untuk menggendongnya?” Seorang santri lalu menjawab, “Aku bersedia.” Baca juga Pentingnya Menjaga Persatuan Bangsa Ketika santri itu datang membawa orang tua tak dikenal tadi, Kiai Kholil menyambutnya dan memuliakan orang tua tersebut. Setelah sekian lama berbincang. Kiai Kholil lalu bertanya pada para santri, “Siapa yang menghendaki mengantar orang tua ini pulang?”, Seorang santri yang tadi menggendong orang tua kepada Kiai Kholil pun menyanggupinya kembali. Ketika Santri tersebut berangkat, Kiai Kholil lantas berkata kepada para santri, “Bersaksilah, bahwa ilmuku telah dibawa oleh Santri tadi.” Setelah kejadian itu, diketahui bahwa ternyata orang tua yang lumpuh tersebut adalah Nabi Khidir As. Lalu Santri yang membawa orang tua tersebut kembali, tidak lain adalah Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, yang menjadi Rais Akbar Nahdlatul Ulama. Hikmah Taat pada Guru Tonton juga Nasionalisme Religius Ensiklopedia Buku Lirboyo 7 Bangkalan hasyim asy'ari Hikmah syaikh kholil taat Teladan Banyak yang tidak menyangka bahwa kehadiran guru saat santri membaca Al-Qur'an sangatlah penting. Selain ada faedah râbithah dan murâqabah ikatan dan kedekatan emosional, juga ada faedah lain, yakni tentu saja mengoreksi apakah cara membaca santri sudah benar atau belum. Ini lebih dari sekadar tentang ilmu ucap melainkan juga ilmu ketika, seorang guru menegur muridnya yang sedang membaca Al-Qur’an sambil tiduran. Sebenarnya, sang murid membacanya bil ghaib alias dengan teknik hafalan. Diam-diam ia membaca dan hanya sesekali mengeraskan suaranya agar pas dan sesuai dengan makhraj. Tak disangka, sang guru mengetahui. Ia mengambil serban lalu memukul sang murid dengan pukulan kasih sayang."Kang, sampeyan baca Al-Qur’an itu memang bernilai ibadah. Tapi apa sampeyan nggak ingat, bahwa Rasulullah SAW itu tidak pernah menerima wahyu sambil tiduran seperti sampeyan itu."Mak deg dalam hati Sang Murid. "Kalau membaca Al-Qur'an itu, bacalah seolah sampeyan membaca di hadapan guru yang menunjukkan. Kamu akan terjaga dari sikap tidak memuliakan wahyu Allah," sang guru melanjutkan"Kalau murid sudah berani hilang adab saat dia sedang disimak guru dalam tingkah ghaib, bagaimana mungkin ia bisa menjaga adab dalam tingkah ghaib di hadapan Rasulullah? Sampeyan tidak pernah melihat beliau. Sampeyan juga tidak pernah hadlir di majelis beliau. Tentu akan lebih mudah bagimu untuk berpaling dari pengawasan beliau."Jedeeerrrr... Seolah apa yang disampaikan Sang Guru ibarat petir yang menyambar di relung hati terdalam dari murid. Tak terasa air matanya menetes. Peluh di sekujur tubuh mulai keluar, dingin, disambut semriwing angin yang menerpa badan. "Wahyu Allah itu turun sebagai petunjuk bagi umat. Ibarat sampeyan ditunjukkan oleh seseorang, kemudian sampeyan bersikap tanpa adab dengan orang yang menunjukkan, apakah sampeyan sudah siap untuk ditinggalkan oleh orang yang menunjukkan itu? Begitulah hendaknya sang murid beradab saat Allah SWT, tunjukkan lewat bulir-bulir kalam ilahi itu. Sikapnya terhadap kalam ilahi adalah cermin kesiapannya untuk diabaikan atau diterimanya ia," sambung sang guru sambil menunjuk ke muka sang murid langsung tersungkur. Kepalanya bersujud, air matanya tumpah. Sambil berbisik ia mengucap, "Astaghfirullahl 'adhim. Hamba tobat, Gusti. Mulai saat ini, hamba berjanji tak akan mengulangi lagi sikap hamba yang kurang adab itu. Ampuni kesalahan hamba, Gusti!" Tangis tersedu-sedu sang murid memecah kesunyian. Lalu tiba-tiba sesosok tangan menyolek-nyolek dengan suara lembut, "Mas... Mas.... Bangun! Waktunya sahur. Jenengan kok keringetan. Lagi masuk angin, ya?"Terkesiap, sang murid itu duduk. "Eh... cuma mimpi ya? Tapi seolah nyata sekali, seperti dalam situasi di gothakan kamar-ku dulu waktu di Pondok. Ah, sang guru hadir dalam mimpiku, masih menjaga adab dan sikapku. Untuk beliau teriring doa, al-Fatihah!"Lalu sang murid beranjak ke kamar mandi. Ambil wudhu, lalu mendekati istri yang sudah menyiapkan santap sahur dan menunggu kehadirannya. "Bismillahirrahmanirrahim..."Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur======NU Online mengajak kepada pembaca semua untuk berbagi kisah inspiratif penuh hikmah baik tentang diri sendiri atau orang lain. Silakan kirim ke email redaksi

kisah santri yang taat pada guru